METRO SUMATRA NEWS

Getaran Haji dan Qurban

Oleh : Irwandi Nashir  Dosen UIN Bukittinggi E-mail: irwandimalin@gmail.com

 IBADAH haji dan qurban memunculkan getaran ke qolbu dan pikiran kita tentang keteguhan keyakinan bertauhid nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Saat berhaji kita seakan melakukan pertunjukkan untuk memerankan kembali sosok Ibrahim dan keluarganya (Hajar dan Isma’il ‘alaihissalam). Diawali dengan memasang niat dan memakai ihram di miqot, “pertunjukkan” itu dikerjakan dengan latar Baitullah, bukit Shafa dan Marwah, Padang ‘Arafah, Mudzdalifah, dan Mina.          Ketika menyembelih hewan qurban, memori kita juga dibawa kepada nabi Ibrahim ‘alahissalam. Di usia 99 tahun, sang Khalilullah (kekasih Allah) itu menerima dengan ikhlas perintah Allah Ta’ala untuk menyembelih putranya Ismail untuk berqurban (mendekatkan diri) kepada-Nya. Ismail ketika itu sudah mencapai usia baligh (lihat QS.37,  as- Shofat:102).

Getaran  ibadah haji dan qurban yang paling kuat dan menjadi intinya adalah tauhid. Tauhid adalah keyakinan untuk tunduk kepada Allah Ta’ala yang menciptakan alam  dan isinya sehingga tak ada sekutu untukNya. Tauhid menjadi inti dakwah para Nabi dan Rasul. Tauhid  menjadi intisari isi al-Qur’an. Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi rahimahullah dalam kitab Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menjelaskan bahwa  saat  al-Qur’an memberitakan tentang Allah Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifatNya, maka ini disebut dengan istilah tauhid ilmu dan pemberitaan. Ketika  al-Qur’an memberitakan perintah dan  larangan, serta  kewajiban untuk tunduk kepada Allah Ta’ala, maka itu disebut dengan hak-hak tauhid dan penyempurnaannya. Al-Qur’an memberitakan kemuliaan yang diperoleh seorang yang bertauhid di dunia dan akhirat. Ini disebut dengan balasan atas tauhid yang dimiliki seseorang. Al-Qur’an juga memberitakan tentang hukuman bagi orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini dipahami dari ayat-ayat yang memberitakan hukuman untuk pelaku kesyirikan di dunia dan di akhirat.

Monoteisme  (tauhid)  yang  diyakini  nabi  Ibrahim  ‘alaihissalam  mengalami cobaan berat dalam mendakwahkannya hingga menjadi teladan sepanjang masa. Al-Qur’an mengabadikan  itu  semua  disertai  dengan  logika  bertauhid  yang  dimiliki  nabi  Ibrahim

‘alaihissalam. Logika bertauhid adalah tuntunan Allah Ta’ala kepadanya yang mengandung hujjah (bukti kebenaran) untuk membantah keyakinan politeisme kaumnya.  Ilmuwan muslim, Jerald F. Dirk, dalam bukunya Abraham: The Friend of God, menyebut bahwa pada usia 14 tahun (diperkirakan tahun 2152 SM), Ibrahim menunjukkan kepekaan religiusnya dengan mengamati alam untuk sampai pada keyakinan monoteisme. Keyakinan monoteisme itu disampaikannya kepada masyarakat Ur di Mesapotamia. Ur adalah kota kelahiran nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Terletak sekitar 200 mil (325 kilometer) di tenggara daerah yang saat ini dikenal sebagai Baghdad, Ur menjadi ibukota dari seluruh Mesopotamia selatan selama abad ke-25 SM.

Kepekaan religius Ibrahim terfokus pada benda langit yang terdiri atas bulan, matahari, dan bintang senja. Benda-benda langit ini menjadi sesembahan utama di Ur selama milenium ke-

3 SM. Masyarakat Ur membuat berhala untuk dewa bulan (Sin), dewa matahari (Shamash), dan dewa bintang senja (Ishtar). Pikiran kritis dan kesadaran religius nabi Ibrahim mengamati benda- benda langit yang dipuja kaumnya itu diberitakan al-Qur’an (lihat QS,6, al-An’am:75-79). Proses pengamatan alam dan perenungan kosmos ini dinisbatkan kepada Ibrahim sekitar 500 tahun sebelum  turunnya  al-Qur’an.  Menurut  Jeald  F.  Dirk,  teori  penisbatan  ini  diusulkan  oleh sejarawan Yahudi, Flavius Josephus ibn Matius, pada abad ke-1 SM.

Situs Kota Ur, tempat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tumbuh dewasa

Ayat-ayat yang tentang kesadaran religius Ibrahim dipahami sebagai bentuk observasi alam dan argumentasi retorik yang dilakukan Ibrahim untuk mencapai monoteisme intelektual (kecerdasan bertauhid). Ibrahim bukan terjebak sebelumnya dengan keyakinan politeisme itu, namun justru menentang politeisme astral (pemujaan benda-benda langit itu) dari awal melalui pikiran kritisnya.   Pemahaman ini didukung oleh al-Qur’an, surah al-An’am, 6:83: Dan itu adalah  hujjah  (bukti  kebenaran)  yang  Kami  berikan  kepada  Ibrahim  untuk  menghadapi kaumnya. Penemuan arkeologis tentang pemujaan masyarakat Ur terhadap benda-benda langit itu baru terjadi pada abad ke 20 M, yaitu kira-kira 13 abad setelah turunya wahyu untuk ayat di atas.

Hasil pemahaman dan perenungan Ibrahim tentang alam membuat ia menolak pemberhalaan dan penyembahan politeistis berbentuk benda langit. Ibrahim sampai ke tingkat haqqul  yaqin  (sebenar-benar  yakin)  bahwa  Allah  itu  Esa  dan  tanpa  sekutu.  Pernyataan ketauhidan Ibrahim  diabadikan di penghujung ayat ke 79, surah al-An’am: Aku berpasrah diri kepada Tuhan yang menciptakan seluruh langit dan bumi dengan kepasarahan yang ikhlas. Aku tidak mau menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat syirik.”  Terlepas dari kemampuannya untuk menalar proses penciptaan alam, kita meyakini bahwa walaupun mungkin baru berusia,14 tahun, Ibrahim dipilih Allah untuk menjadi penerima pengetahuan tentang keyakinan tauhid. Dan sungguh dia yang Kami pilih, dan dia benar-benar sholeh di dunia (QS.2, al-Baqarah:130).

Ujian keyakinan bertauhid pada diri Rasul remaja itu pun tiba. Pada usia 16 tahun, Ibrahim  dihukum  mati  dengan  cara  dibakar  oleh  kaisar  Naram-Sin.  Allah  menyelamatkan Ibrahim dari api Naram-Sin (lihat QS.29, al-‘Ankabut:24). Namun, kaum nabi Ibrahim tetap menolak ajakan untuk bertauhid. Dari catatan sejarah, nabi Ibrahim mendakwahi masyarakat Ur hingga berusia 60 tahun atau 61 tahun sebelum ia hijrah ke Haran di Turki bagian tenggara. Selama proses dakwah itu, adu argumentasi terus terjadi antara nabi Ibrahim dengan kaumnya yang tetap menentang keyakinan untuk bertauhid.

Saat kaumnya membantah keyakinan monoteisme, nabi Ibrahim terus mengemukakan argumentasi logis yang mengandung prinsip ketauhidan. Secara berurutan argumen itu dikemukakan Al-Qur’an dalam surah al-An’am, 6:80-82. Pertama, prinsip hidayah. Nabi Ibrahim ‘alahissalam menyampaikan kepada kaumnya bahwa keyakinan bertauhid adalah hidayah dari Allah Ta’ala semata. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa keyakinan bertauhid bukan karena pengaruh  lingkungan  dan  tradisi.  Lingkungan  dimana  seseorang  itu  tinggal  belum  tentu berbading lurus dengan keimanan dan kesholehan seseorang. Karenanya, setiap individu mesti mencari jalan (washilah) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (baca QS.5, al-Maidah:35).

Prinsip kedua, tidak mengantungkan hati selain kepada Allah Ta’ala. Pemujaan pada benda (materialisme) menumpulkan mata hati manusia untuk mengenal sang Pencipta dan hanya takut kepadaNya. Paham pemujaan terhadap benda itu ditolak oleh nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan menegaskan: Aku tidak khawatir celaka karena meninggalkan perbuatan syirik yang selama ini telah kalian lakukakan. Aku hanya berpasrah pada Tuhanku, sekiranya Tuhanku menghendaki yang lain untuk diriku (QS. 6, al-An’am:80). Mengantungkan hati kepada selain Allah Ta’ala menjadi sumber utama segala bentuk kejahatan manusia yang puncaknya  adalah mempersekutukan Allah Ta’ala.

Prinsip ketiga, keluasan ilmu Allah Ta’ala.  Nabi  Ibrahim ‘alaihissalam menyatakan: Tuhanku menguasai segala ilmu  (QS.6, al-An’am:80). Penghalang manusia untuk bertauhid adalah ketika merasa diri kaya dan mengetahui segalanya. Manusia sombong dengan setetes ilmu ditengah  lautan  ilmu  Allah  Ta’ala.  Akibatnya,  pencapaian    dalam  ilmu  pengetahuan  dan teknologi membuat   manusia terlena, sombong, dan menolak eksistensi sang Pencipta alam semesta ini. Kemajuan di bidang sains digiring menuju paham yang disebut deisme. Paham ini mengampanyekan bahwa pada awalnya alam ini diciptakan oleh Tuhan, lalu Tuhan meninggalkannya.Tuhan tidak lagi bertanggungjawab atas apa yang terjadi di alam semesta ini. Paham ini jelas menistakan dan menolak hak rububiyyah Allah Ta’ala (hak untuk mencipta dan mengatuar alam).

Prinsip keempat, kelogisan keyakinan tauhid. Argumentasi ini disampaikan nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya: Tuhan yang melarang kalian  berbuat syirik dengan larangan yang jelas (QS.6, al-An’am:81). Tidak ada satu pun alasan logis yang dapat menguatkan poleteisme (kesyikiran). Sebaliknya, keyakinan tauhid adalah keyakinan yang mengfungsikan akal dan sejalan dengan hukum akal. Keyakinan ini mendorong manusia untuk menjadi khalifah yang memimpin dan memakmurkan bumi dalam bingkai pengabdian kepada Khaaliq (Pencipta) . Sebaliknya, politeisme justru menjadikan manusia tunduk kepada makhluk yang lemah dan tak punya kuasa.

Prinsip kelima, tiada mencampurkan keimanan dengan kesyirikan (QS. 6, al-An’am:82). Iman bagaikan tanaman yang ditanam di dalam hati. Tanaman itu jangan sampai bercampur dengan racun yang akan membunuhnya. Racun itu adalah syirik yang berlawanan dengan tauhid. Bercampur dua hal yang berbeda melahirkan kegelisahan jiwa. Sebaliknya, memurnikan tauhid dari racun syirik melahirkan ketenangan jiwa.

 Logika bertauhid adalah argumentasi logis yang diajarkan Allah Ta’ala kepada  nabi Ibarahim ‘alaihissalam untuk membantah politeisme (QS.6, al-An’am:83). Argumentasi logis yang mengandung prinsip ketauhidan itu diwariskan hingga umat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam.  Mengajak manusia ke jalan monoteisme seperti menempuh jalan mendaki yang dikelilingi jurang ujian. Butuh banyak energi untuk meniti jalan itu selain kehati-hatian. Energi itu adalah ilmu, iman, ikhlas, sabar, dan istimroriyah (kesinambungan).(***) 

Exit mobile version