Oleh : Irwandi Nashir
Dosen UIN Bukittinggi
SEJAK akhir abad ke-19,soal warisan di Minangkabau telah mematik perseteruan pemikiran dikalangan ulama. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi mengeluarkan fatwa bahwa hukum waris yang berlaku dalam adat Minangkabau bertentangan dengan syariat Islam. Namun, Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan murid beliau sendiri, Syekh Dr.Karim Amrullah atau Inyiak Rasul (ayah Buya Hamka). Menurut Inyiak Rasul, terdapat perbedaan antara harta pusaka dan harta pencaharian.Harta pusaka di Minangkabau itu diposisikan sama dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah ada di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Khalifah Umar,harta itu digunakan untuk kemaslahatan umum.
Menurut Inyiak Rasul, status harta musabalah yang ada di zaman Khalifah Umar bin Khattab itu mirip dengan Pusako Tuo di Minangkabau yang tak mudah dijual begitu saja.Pendapat Inyiak Rasul itu disokong oleh murid Syekh Ahmad Khatib lainnya, diantaranya Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang). Belakang Inyiak Rasul dan Inyiak Canduang tercatat sebagai tokoh ormas Islam berpengaruh di Minangkabau.Inyiak Rasul sebagai tokoh Persyarikatan Muhammadiyah dan Inyiak Canduang sebagai pendiri dan tokoh PERTI.
Perpedaan pendapat dikalangan ulama itu menjadi bahan masukkan untuk menyelesaikan persoalan warisan di Minangkabau. Pada 4-5 Mei 1952 melalui ‘Kongres Badan Permusyawaratan Alim Ulama,Niniak Mamak dan Cerdik Pandai Minangkabau’ yang diadakan di Bukittinggi,terdapat kesepakatan bahwa pada tanah “Pusako Tuo”/”Pusaka Tinggi” berlaku hukum adat. Sementara pada harta pencaharian atau diistilahkan dengan “Pusako Randah” berlaku hukum faraidh (hukum waris Islam).
Hasil seminar 1952 di Bukittinggi itu dipertegas melalui seminar pada 21-25 Juli 1968. Seminar yang diprakarsai Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) diadakan di Aula Fakultas Hukum Universitas Andalas,Jalan Pancasila, Padang. Seminar pada 1968 itu memberi pengaruh di kalangan peneliti,akademisi, dan penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan warisan di Minangkabau.
Buya Prof. Hamka yang hadir dalam seminar 1968 itu membawakan makalah bertajuk “Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya” mengusulkan formula jalan tengah untuk menyelesaikan sengketa waris di Minangkabau.Intinya, harta pencaharian berlaku Hukum Faraidh, dan terhadap harta Pusako Tuo berlaku hukum adat. Makalah Buya Hamka pada seminar itu jelas berbeda dengan tulisan di bukunya “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1946)” yang garang dan menghajar praktek adat Minangkabau.
Pada seminar 1968 itu jelas ada dissenting opinion (pendapat berbeda) dari narasumber lainnya. Prof.Hazairin yang tampil dengan duduk bersila di atas kursi dengan berkain sarung “menguliahi” para ninik mamak dan alim ulama yang hadir. Prof.Hazairin menyampaikan pemikiran untuk menukar hukum waris ada yang matrilineal dan hukum faraidh Islam yang patrilineal ke hukum baru yang parental,yaitu laki-laki dan perempuan mendapat pembahagian harta warisan yang sama.
Di atas semua perbedaan pendapat itu,Seminar Hukum Adat Minangkabau yang digelar pada 1968 itu mempertegas rumusan kesimpulan bahwa penyelesaian warisan dari harta pecaharian menggunakan hukum faraidh, dan terhadap harta pusaka berlaku hukum adat. Wallaahu a’lam.