Oleh : Irwandi Nashir
Tahun lalu,seorang kawan pulang berhaji. Kawan saya itu berangkat haji sebagai pembimbing ibadah. Saya tanyakan kabarnya khas pertanyaan untuk orang pulang haji. Setelah bercerita pengalaman umumnya orang berhaji, sejurus kemudian ia mulai serius bicara. “Saya bertanya-tanya dalam hati, dibandingkan orang-orang dahulu apa perjuangan orang sekarang pergi haji?” Kawan saya itu mulai bicara.
Kawan saya terus becerita. Bayangkan, sejak berangkat saja mereka dilepas, dikawal, naik kapal terbang bukan kapal laut, hingga tiba di tempat tujuan. Disana, mereka dikasih uang belanja,living cost namanya. Kesehatan jamaah dicek berkala. Tidur di hotel yang nyaman, tak ada memasak,semua makanan,buah-buahan tersedia. Bus-bus ber-ac stand by di depan hotel untuk antar jemput jamaah. Bahkan, bagi yang mau tidur enak saja di hotel juga bisa.Masjid-masjid sekitar hotel ada.Di hotel pun ada mushalla. Saat wuquf hingga proses ibadah di Mina semua dilayani. Sedikit berdesakkan di tenda itu biasa.Apalagi Haji pasca corona ini, fasilitas di Mina itu tentu lebih nyaman dibanding tahun-tahun lalu.
Lalu, apa perjuangan jamaah haji sekarang saat berhaji? Agaknya,tak ada perjuangan yang berarti untuk jamaah haji sekarang dibanding mereka yang berhaji katakanlah era 1920-an. Kami sama-sama mengangguk,ya belum apa-apa dibandingkan para pendahulu kita dulu berhaji.
Majelis ilmu juga terasa kurang untuk jamaah haji sekarang. Jamaah haji Indonesia tak bisa berharap banyak dengan pengajian di tiang-tiang Masjidil Haram itu. Selain pengatar berbahasa Arab, penceramah yang berbahasa Indonesia juga tak banyak.
Sebenarnya, majelis ilmu di pemondokan jamaah lebih efektif dengan program kajian yang terstruktur. Tapi,siapa yang akan mengelola majelis ilmu itu?Berharap pada pembimbing ibadah yang hanya satu orang per kloter itu? Tak mungkin.Energi, waktu,dan ilmunya tentu juga terbatas. Pemantau haji daerah utusan setiap kota/kabupaten kan ada? Ya,ada satu orang setiap kota/kabupaten.Ditunjuk oleh Walikota/Bupati.Utusan provinsi juga ada satu orang yang ditunjuk Gubernur. Namanya saja pemantau,tentu tugasnya memantau.Mereka yang tahu apa yang dipantaunya. Jika para pemantau daerah itu ada sedikit tabungan pengetahuan agama masih ada harapan untuk membantu pembimbing ibadah.Jika,tak ada pengetahuan agama, maka “marasailah” sendiri pembimbing ibadah mengarahkan jamaah haji itu.Belum lagi melayani konsultasi agama.
Tapi, masih ada yang tersisa dari perjuangan haji sekarang yang tak kalah beratnya. Itulah,perjuangan menata qalbu dan menyelami hikmah di setiap langkah. Perjuangan menata qalbu itu adalah jihad yang wajib diikhtiarkan agar haji yang ditunaikan bukan haji minus perjuangan. Karenanya, Allah Ta’ala mewahyukan bahwa ibadah haji sesungguhnya lahir dari hati yang ikhlas (Surah Al Hajj:32) Wallaahu A’lam.