Padangpanjang,metrosumatranews.com.
Semua kisah dalam Qur’an tak terkecuali fakta hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah mengandung hikmah untuk menuntun kita meraih kebahagian.
Menurut Ustadz Dr. Irwandi Nashir, terdapat dua pesan penting dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw pada tahun 622 M itu untuk menata jiwa agar hidup bahagia. Kedua pesan itu berguna untuk membebaskan hati dari belenggu yang membuat hidup tak bahagia.
Pesan pertama, berikhtiar dan i’tishom billaah atau menggantungkan hati hanya pada Allah Ta’ala. Kebahagian hakiki akan sirna ketika ada bergantung selain pada Allah Ta’ala.
Sebenarnya jika Allah Ta’ala berkehendak, Rasulullah saw bisa saja hijrah ke Madinah dalam sekejap mata tanpa harus bersusah payah. “Tapi, adanya perjuangan Rasulullah sejak keluar rumah, bersembunyi di gua tsur hingga lika-liku berdakwah di Madinah.
Mengajarkan kepada kita bahwa untuk meraih kejayaan itu perlu ada ikhtiar yang dilandasi dengan menggantungkan hati pada Allah Ta’ala,” jelas Ustadz Dr. H.Irwandi Nashir saat menyampaikan kajian khusus hikmah hijrah Rasulullah saw, Sabtu, 22/7/2023, di Masjid Al-Hidayah Kota Padangpanjang.
Dikatakannya, melalui peristiwa hijrah Rasulullah saw kita dipaparkan dengan kuatnya ketergantungan hati Rasulullah pada Allah Ta’ala ketika rumah beliau dikepung, saat beliau berada dalam gua Tsur hingga terus dikejar untuk dibunuh.
Dikatakannya, perintah untuk menggantungkan hati kepada Allah Ta’ala seperti diabadikan dalam surah al-Hajj: 78 adalah bentuk kecerdasan hati yang harus dilatihkan pada anak sejak dini. “Jika anak tidak dilatih mengelola stress melalui pendekatan tauhid,dikhawatirkan mereka tumbuh dengan mental keropos dan kepribadian jelek,” jelas Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Payakumbuh itu.
Pesan kedua, ungkap Ustadz Irwandi Nashir, adalah bebaskan hati dari belenggu kekikiran. Dalam peristiwa hijrah Rasulullah, kita disajikan dengan fakta mencenggangkan tentang kedermawanan kaum Anshar dalam menolong kaum Muhajiran di Madinah.
Dalam surah al-Hasyr: ayat 9 tentang kebeningan hati kaum Anshar yang ditandai dengan kecintaan mereka pada kaum Muhajirin tanpa ada rasa iri dan keegoaan untuk mementingkan diri sendiri. “Semua itu dapat diwujudkan jika hati bebas dari belenggu kekikiran,” tegas dosen UIN Bukittinggi itu.(STM/Iwn).