Budaya  

SYARA’ MANDAKI

Oleh : Irwandi Nashir
History Enthusiast/
Dosen UIN Bukittinggi

SEKIRA 42 tahun setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat, Islam sudah sampai ke Ranah Minang. Fakta sejarah ini didasarkan catatan dari China yang menyebut bahwa tahun 684 M sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Pariaman. Buya Hamka (1976) dalam “Sejarah Umat Islam” turut mendukung catatan China itu. Nama Pariaman sendiri berasal dari kata “Barri Aman” (daratan yang aman). Uniknya, perkampungan Arab di Pariaman itu tak seperti perkampungan etnis-etnis lain,sepeti kampung China, kampung Keling yang belakangan sengaja dibentuk dan dilokalisir Belanda agar bisa dikontrol. Perkampungan Arab di Pariaman tak begitu kentara,bahkan nyaris tak berjejak sebab sudah melebur dengan masyarakat pribumi.

Bahkan, jauh sebelum ada perkampungan Arab di Pariaman itu,awal-awal Masehi Islam sudah menepi masuk ke Minangkabau yang ditandai adanya perkampungan Arab dan Persi di daerah antara Padang dan Bengkulu. Begitu kesimpulan yang saya pahami dari data sejarah yang disajikan Al Habib Alwi bin Thahir,mufti kerajaan Johor,Malaysia dalam bukunya “Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh.”

Islamisasi semakin gencar pada abad ke 16 melalui para pedagang dari Arab dan Gujarat yang masuk ke Tiku, Pariaman. Semua bermula di daerah pesisir pantai karena penduduk disana lebih dahulu menerima dakwah Islam melalui interaksi dengan para pedagang yang merangkap menjadi da’i-da’i yang ulung.
**
Syara’ Mandaki

Saat penduduk di daerah pantai sudah mengenal Islam, penduduk di dataran tinggi Minangkabau atau daerah ‘Darek’ masih terlelap dalam selimut kejumudan. Proses masuknya Islam ke dataran tinggi Minangkabau penuh perjuangan dan terbilang unik. Bukan saja karena topografi daerahnya yang berbukit dan berlembah, tapi juga karena kuatnya buhul paham animisme dan hinduisme yang berbalut mistisme di hati dan pikiran penduduk dan tentu juga disokong oleh para pemimpin kaum yang teguh memegang adat.

Uniknya,saat Islam menyebar di kawasan Darek, buhul-buhul ikatan animisme, hinduisme dan Budhisme itu secaran perlahan mulai longgar, lalu mengelupas, dan hilang tak berjejak. Tentu berbeda jika dibandingkan dengan Islamisasi di tanah Jawa yang tetap saja menyisakan jejak hinduisme, bahkan hingga kini.

Ajaran Islam yang mandaki (mendaki) atau masuk ke dataran tinggi Minangkabau adalah ajaran yang bercorak tasawuf yang dimotori oleh ulama-ulama sufi/ulama tariqat. Tariqat Naqsyabandi lebih dahulu menyebar di dataran tinggi Minangkabau. Di Agam pusatnya ada di Koto Tuo.Di Lima Puluh Kota berpusat di Taram, dan di Tanah Datar berpusat di Talawi. Disusul dengan masuknya tariqat Syattariyah yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin yang bermukim di Ulakan, Pariaman.

Hingga tibalah awal abad ke-19,ketika di Pandai Sikek mucul gerakan permurnian perilaku beragama dari pengaruh paham animisme,Hinduisme,dan Budhisme. Penggerak paham itu dikemudian hari dalam sejarah dikenal dengan nama Kaum Paderi.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *