Oleh : Irwandi Nashir
Dosen UIN Bukittinggi/
Peneliti di Lembaga Studi Dakwah Indonesia (LSDI)
E-mail: irwandimalin@gmail.com
Tahun 1821 para pengikut Paderi di Minangkabau semakin banyak. Berbeda dengan gerakan Paderi di Kabupaten Lima Puluh Kota yang hampir tak ada catatan adanya perang internal disana, penerapan asas Paderi di Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar tak bisa mengelakkan pertentangan hebat antara penduduk yang mendukung Paderi dan sebaliknya.
Tanah Datar yang saat itu menjadi kaya mendadak karena ekspor kopi mengalami pergolakkan antara pendukung Paderi yang menyerukan perbaikan akhlak dan cara beragama dan Pendukung Istana Pagaruyung yang menolak cara dan misi Paderi, saat beberapa desa di Tanah Datar mengalami pergolakkan antara pendukung Paderi dan sebaliknya, desa Salimpaung semakin mantap menjadi pendukung Paderi.
Christine Dobbin dalam bukunya “Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah, 1784-1847” , menulis bahwa Salimpaung adalah desa yang menjadi basis gerakan Paderi Tanah Datar. Salimpaung saat itu sebagai desa penghasil kopi.Selain petani kopi, desa Salimpaung di era Paderi adalah pusat pengrajin besi dan pemasok senjata. Saat saya tanyakan ke para sesepuh di Salimpaung memang mereka akui banyak ditemukan serpihan-serpihan besi di parak/kebun-kebun disana yang sudah tertimbun lama.
Sebagai salah satu basis Paderi di Luhak Tanah Datar, desa Salimpaung adalah diantara desa yang diprioritaskan Belanda untuk diserang. Penyerangan Belanda ke Salimpaung dan desa-desa tetangganya, Tabek Patah, Tanjung Alam, dan Barulak terjadi pada 27 Juni 1822. Namun, pasukan Belanda mengundurkan diri saat sampai di Salimpaung karena mendapat perlawanan hebat dari penduduknya yang menjadi penyokong Paderi yang tangguh (Lihat Direktori Minangkabau, 2012:214). Perang itu sesungguhnya adalah perang semesta Minangkabau. Saat berperang melawan Belanda, kaum Paderi berpakain serba putih.Namun ketika kalah,mereka kembali bersalin pakaian seperti petani biasa. Itu sebabnya Belanda “kalangpasiangan” (bingung dan repot) menghadapi pasukan Paderi.
Sebagai basis gerakan Paderi Tanah Datar, Salimpaung juga memiliki banyak surau yang didatangi para penuntut ilmu dari berbagai pelosok di Minangkabau.Verkerck Pistorius yang menjadi Controleur (pengawas pendidikan) antara 1865-1868, mencatat bahwa Salimpaung termasuk sepuluh besar desa di Minangkabau yang menjadi basis pendidikan agama dengan surau dan pelajar terbanyak (Direktori Minangkabau, 2012:384).
Sebagai desa yang pernah berpengaruh di era Paderi, Salimpaung tetap terus bergerak melanjutkan semangat pendahulunya para Paderi Salimpaung. Di era jayanya, da’i kondang KH.Zainuddin MZ sampai dua kali menyambangi Salimpaung untuk bertabligh akbar dan menggalang dana pembangunan masjid-masjid di Salimpaung.Sesuatu yang langka di era 90-an untuk ukuran sebuah desa kecil.
Merespon tak seimbangnya jumlah madrasah dan peminatnya di Tanah Datar, masyarakat Salimpaung di kampung dan rantau bergerak membangun Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Salimpaung yang kini telah banyak melahirkan alumni.Karena bagusnya mutu dan pengelolaannya, MAS Salimpaung pun masuk nominasi untuk dinegerikan. Tak cukup dengan membangun MAS.Demi membangkitkan kembali kejayaan Salimpaung sebagi basis pendidikan agama di Minangkabau, kini di Salimpaung tengah dibangun Pondok Pesantren Moderen Munahijussadat Salimpaung.()