Budaya  

Atap Rumah Gadang Pada Museum Istano Basa Pagaruyung Berasal Dari Filosofi Tanduk Kerbau

Oleh : Masriwal STM

Kita apabila berkunjung ke Museum Istano Basa Pagaruyung yang terletak di Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar akan tercengang-cengang akan bangunan tersebut.

Sebagaimana oleh orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.

Rumah Bagonjong tidak bisa dilepaskan dari letak geografis dan juga sosial
budayanya. Falsafah masyarakat Minangkabau adalah alam takambang jadi guru.

Menurut Gartiwa (2011:65), falsafah tersebut berarti alam diciptakan dengan sempurna dan di dalamnya terdapat banyak contoh pengajaran yang baik.

Masyarakat Minangkabau mencoba untuk hidup selaras dengan alam lingkungannya, dinamis, dan terdapat hubungan timbal balik, sehingga setiap karya arsitektur yang dihasilkan selalu mencoba mengambil dari alam dan menyelaraskan dengan lingkungan yang ada.

Atap Gonjong Sebagai Nilai Simbolik Arsitektur Sumatera Barat, Menurut Navis (1984: 177), atap gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap yang menghadap ke atas, dan merupakan ujung turang yang dibalut dengan timah. Nilai simbolik adalah tanda yang diwujudkan sebagai bentuk visual bagi sesuatu makna tertentu yang bersifat abstrak namun
komunikatif bagi masyarakat tertentu.

Dalam bahasa filsafat, simbol atau tanda biasanya juga dikenal dengan semiotik yang didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi.

Namun begitu, dalam penelitian ini tidak akan mengkaji dengan teori semiotik, melainkan lebih kepada arsitektur Rumah Gadang yang difokuskan pada bagian atap gonjongnya, yakni mengutamakan filosofi dan nilai atau makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

Menurut hikayatnya, atap Rumah Gadang merupakan bentuk transisi dari tanduk
kerbau. Kerbau yang dalam bahasa Padang disebut Kabau juga menjadi filosofi dari kata Minangkabau. Hewan kerbau selain diagungkan karena filosofi juga dijadikan suatu hiburan yang dikenal dengan adu kabau. Dari situlah filosofi atap gonjong bermula.

Atap akan sangat tinggi nilainya jika mengandung filosofi yang tinggi, namun sebaliknya jika filosofinya biasa saja maka bentuk atap akan hanya merupakan sebuah kumpulan kayu yang berfungsi melindungi badan bangunan dan tak memiliki makna lebih.

Sebagai simbol penghormatan terhadap kerbau yang telah memenangkan pertandingan adu kabau tersebut, masyarakat Minangkabau mengadopsi wujud tanduk kerbau ke bentuk atap bangunan Rumah Gadang, sehingga sampai dengan sekarang atap gonjong tersebut memiliki makna penghormatan.

Tanduk hewan kerbau selain diagungkan karena filosofi yang memiliki nilai sakral juga
bermakna sebagai hewan yang membantu kelangsungan hidup masyarakat di sawah (melambangkan kemakmuran).

Dari situlah filosofi dan nilai simbolik atap gonjong yang menyerupai tanduk kerbau ini bermula. Dengan kata lain, atap gonjong jika ditinjau dari sejarahnya berasal dari upaya masyarakat Minangkabau untuk mempertahankan perekonomiannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber, diperoleh beberapa
pendapat mengenai filosofi dan nilai simbolik atap pada Rumah Gadang yakni sebagai berikut:

Ibu Suaita (41 tahun) mengatakan: Atap Rumah Gadang melengkung seperti tanduk kerbau atau seperti susunan sirih dalam cerana. Hal itu berkaitan dengan cerita tambo yang menyatakan kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan orang dari Jawa. Untuk melestarikan kemenangan itu, maka masyarakat Minangkabau membuat gonjong rumah menyerupai tanduk kerbau.

Rajo Bujang (38 tahun), mengatakan: Rumah Gadang Istana Pagaruyung awal mulanya dibuat oleh Tantedjo Gurhano atas suruhan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Oleh Tantejo Gurhano ini dibuatlah rumah yang meniru bentuk bagian bawah kapal karena Datuk Parpatih Nan Sabatang kala itu pulang dengan menggunakan kapal serta membawa seperangkat alat pertukangan.


Dari beberapa uraian di atas maka dapat diambil benang merah bahwa bentuk atap gonjong terinspirasi dari tanduk kerbau, sedangkan lengkungannya berasal dari lengkungan dasar kapal. Bentuk atapnya selain mengikuti filosofisnya juga merupakan simbol dari keselarasan dengan alamnya yang bergunung, berbukit, dan memuncak seperti atap gonjong itu sendiri.

Atap yang tinggi mencitrakan manusianya sebagai manusia yang menguasai alam, namun menyelaraskan diri dengan alam. Alam yang berbukit dan bergunung ini membentuk komposisi yang seimbang dan harmonis dengan bentuk bangunan dan sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Minangkabau alam takambang jadi guru.

Selain mengikuti filosofi dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau, atap juga dibuat gonjong di mana semakin ke atas semakin runcing dengan maksud agar air mudah meluncur. Hal ini ada kaitannya dengan lingkungan alam di mana faktor alam bukit barisan yang kerap mendapat hujan sehingga air di atap nantinya mudah meluncur ke bawah.

Dahulunya atap gonjong terbuat dari bahan ijuk, namun seiring perkembangan waktu atap gonjong diganti materialnya dengan menggunakan seng, genteng dan material lainnya. Material ijuk sendiri sebenarnya sebagai simbol bahwa Rumah.

Sumber : Resky Annisa DamayantiStaf Pengajar Desain Interior FSRD, Universitas Trisakti Email: resky.annisa@yahoo.com

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *