Budaya  

Bangunan Arsitektur Museum Rumah Gadang Istano Basa Pagaruyung Mengandung Makna Spiritual

Oleh : Masriwal STM

Kehidupan beragama di Sumatera Barat sangatlah kuat. Spiritualitas Islam sangat mendominasi di Sumatera Barat dikarenakan banyaknya pemeluk agama Islam di sini.inipun turut mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Efeknya yang begitu kuat turut menjadi perhatian, termasuk oleh para desainer maupun arsitek.

Sebagaimana Makna spiritual yang berpengaruh terhadap bangunan arsitektur Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung. Istana Basa Pagaruyung merupakan tempat kediaman keluarga Kerajaan Pagaruyung pada abad ke-17 dan diketahui sebagai awal mula agama Islam tersebar di Sumatera Barat.

Bangunan Museum Istana Basa Pagaruyung yang ada sekarang merupakan bangunan replika. Meskipun demikian, Istana Basa Pagaruyung tetap dibangun dengan mempertahankan wujud aslinya semula. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan kebudayaan.

Dengan mengungkapkan fakta, makna, fenomena, dan keadaan yang sedang terjadi. Hasil dari penelitian diketahui bahwa terdapat empat elemen arsitektur yang memiliki makna spiritual. Dapat disimpulkan bahwa bangunan arsitektur Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung dibangun dengan pemikiran untuk menghubungkan antara elemen arsitektur yang ada dengan alam.

Dimana Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung dominan menggunakan analogi organisme alam. Hal ini sesuai dengan konsep kebudayaan Minangkabau ‘Alam Takambang jadi Guru’ yang juga banyak terpengaruh spiritualitas Islam.

Suku bangsa Minangkabau sering kali disebut unik karena menganut sistem kekerabatan matrilineal atau menurut garis keturunan ibu. Menurut A.A. Navis, Minangkabau memiliki kebudayaan yang sangat kuat yang dipengaruhi dengan ajaran agama Islam. Hal ini terlihat pada prinsip adat Minangkabau yang

tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Kitab Allah yaitu Al-Qur’an) di mana hal ini berarti adat dan kebudayaan Minangkabau selalu berlandaskan kepada ajaran agama Islam. Demikian juga dengan bangunan arsitektur rumah tradisionalnya.

Rumah Gadang merupakan bangunan rumah tradisional milik masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum dan merupakan simbol dari tradisi matrilineal karena Rumah Gadang ini dimiliki oleh perempuan dan dari garis keturunan ibu. Diketahui pada zaman dahulu paman

atau yang biasa disebut mamak sebagai kepala pemerintahan tidak memiliki kantor dan pusat ketatausahaan seperti sekarang, maka dari itu, Rumah Gadang dijadikan sebagai pusat administrasi keluarga matrilineal dalam menyelesaikan masalah-masalah keluarga.

Rumah Gadang dibangun berdasarkan estetika dan fungsi yang sesuai dengan nilai-nilai kesatuan, keselarasan, dan keseimbangan yang padu. Jika dilihat secara kebudayaan, bangunan Rumah Gadang juga terpengaruh dari nilai-nilai Islam. Seperti diketahui, kebudayaan yang dimaksud di Minangkabau adalah aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma yang didasarkan kepada agama Islam yang merupakan prinsip adat Minangkabau, Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.

Salah satu bangunan arsitektur Rumah Gadang yang masih mempertahankan nilai-nilai tersebut adalah bangunan Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung. Bangunan Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung yang ada saat ini merupakan bangunan replika dari bangunan Istana sebelumnya yang sempat terbakar habis pada tahun 1804, 1966 dan mulai direnovasi kembali pada tahun 2008. Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Pagaruyung yang masih tersisa.

Kerajaan Pagaruyung runtuh setelah terjebak dalam siasat kolonial Belanda saat perang Padri bergejolak. Hampir seluruh bagian dari bangunan Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung saat ini masih mempertahankan keaslian bangunan terdahulu meski sudah tidak 100% asli. Berbagai detail ciri khas arsitektur dan makna yang dimilikinya masih sama seperti kondisinya di masa lampau.

Status Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung sendiri sangatlah tinggi dan sakral bahkan sering kali memunculkan isu-isu spiritual yang ada di dalam bangunan arsitekturnya. Menurut Sayyed Hosseein Nash yang merupakan salah satu seorang tokoh spiritualitas Islam mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang mengacu kepada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebathinan dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.

Ranah spiritual esensinya bukanlah materi atau jasadiah, melainkan merupakan konsep metafisika yang pengkajiannya melalui pendalaman kejiwaan yang sering kali disandarkan pada wilayah agama di mana bagi masyarakat Minangkabau sendiri Islam sebagai kepercayaan utamanya sehingga makna bangunan arsitektur Istana Basa Pagaruyung tidak lepas dari prinsip adatnya: Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Kitab Allah yaitu AlQur’an).

Dewasa ini perkembangan bangunan arsitektur kian pesat. Pengaruh arsitektur modern dan internasional, serta hal lainnya turut mempengaruhi arsitektur yang ada di tanah air, sehingga bangunan arsitektur yang ada di tanah air saat inipun lambat laun tidak ada lagi bedanya dengan arsitektur di negara lain. Hal ini sangat disayangkan mengingat arsitektur tradisional yang kaya akan makna justru mulai diabaikan.

Makna spiritual di balik bangunan arsitektur Rumah Gadang Istana Basa Pagaruyung di Batusangkar sangat menarik untuk dibahas karena tidak lain kaitannya dengan kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Spiritualitas mencoba untuk memaknai hidup, dalam hal ini bangunan rumah adat, untuk percaya bahwa seluruh manusia memiliki keterkaitan serta percaya akan hubungan-hubungan yang dapat terbentuk secara harmonis dari berbagai unsur, tidak hanya diri sendiri melainkan juga antar sesama manusia dan Tuhan.

Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter, serta transpersonal. Spiritual diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).

Konsep spiritualitas penuh berisikan makna yang kompleks dan berbeda-beda. Spiritualitas sendiri tak terarah konteksnya, ada dalam bidang keagamaan, musik, karya sastra, arsitektur, dan sebagainya. Dari berbagai konteks tersebut dapat ditarik tiga konsep berbeda. Konsep pertama yaitu berupa kritik seni dan arsitektur yang seharusnya menggambarkan sesuatu “proporsi harmonis”. Konsep kedua yaitu berupa ekspresi lirik romantis yang dirasakan. Sedangkan konsep ketiga yaitu berupa wacana religius yang ditransformasikan oleh satu generasi ke generasi berikutnya hingga menjadi pengalaman spiritual yang diproyeksikan sebagai “perintah Tuhan”.

Sumber : Resky Annisa Damayanti, Vanessa Vidia Ardyharini

Dosen dan Mahasiswa Program Studi Desain Interior, FSRD Universitas Trisakti Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *